WELLCOME TO MY BLOG

My Games

Pusat hosting

Add This

Jumat, 29 Juni 2012

Hikayat Hang Tuah

Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak HangMahmud. Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orangdi Sungai Duyung mendengar kabar teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepadasemua rakyatnya.Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepadaistrinya yang bernama Dang Merdu,”Ayo kita pergi ke Bintan, negri yang besar itu,apalagi kita ini orang yang yang miskin. Lebih baik kita pergi ke Bintan agar lebihmudah mencari pekerjaan.”Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit.Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah. Hang Mahmudpun terbangun danmengangkat anaknya serta menciumnya. Seluruh tubuh Hang Tuah berbau sepertiwangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud pun menceritakan mimpinya kepadaistri dan anaknya. Setelah mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun langsungmemandikan dan melulurkan anaknya.Setelah itu, ia memberikan anaknya itu kain,baju, dan ikat kepala serbaputih. Lalu Dang Merdu member makan Hang Tuah nasi kunyit dan telur ayam,ibunya juga memanggil para pemuka agama untuk mendoakan selamatan untukHang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah anaknya itu.Lalu kata Hang Mahmud kepada istrinya,”Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik, jangan diberi main jauh-jauh.”Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untukpersediaan. Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orangyang mati dan luka-luka. Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya danmelarikan diri ke kampong. Gemparlah negri Bintan itu dan terjadi kekacauandimana-mana. Ada seorang yang sedang melarikan diri berkata kepada Hang Tuah,”Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau masuk ke kampung.?”Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu,”Negri ini memiliki prajurit dan pegawai yang akan membunuh, ia pun akan mati olehnya.”Waktu ia sedang berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak itu menuju Hang Tuah samil menghunuskan kerisnya. Maka ibunya berteriak dari atas toko,katanya,”Hai, anakku, cepat lari ke atas toko!”Hang Tuah mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri danmemegang kapaknya menunggu amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datangke hadapan Hang TTuah lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka Hang Tuah punMelompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu mengayunkankapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelalah kepala orang itu dan mati. Maka kataseorang anak yang menyaksikannya,”Dia akan menjadi perwira besar di tanahMelayu ini.” Terdengarlah berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi,Hang Lekir, dan Hang Lekui.
Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat danHang Kesturi bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh pemberontakdengan kapak?”Hang Tuah pun tersenyum dan menjawab,”Pemberontak itu tidak pantasdibunuh dengan keris, melainkan dengan kapak untuk kayu.”Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sangHang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja.Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai-pegawai lain yang juga iri hatikepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu, datanglah mereka ke hadapan Sang Raja.Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama parabawahannya, Tumenggung dan segala pegawai-pegawainya datang berlutut, lalumenyembah Sang Raja, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, adabanyak berita tentang penghianatan yang sampai kepada saya. Berita-berita itusudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai saya.”Setelah Sang Baginda mendengar hal itu, maka Raja pun terkejut lalubertanya, “Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian ketahui?”Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab, “Hormat tuanku, pegawai sayayang hina tidak berani datang, tetapi dia yang berkuasa itulah yang melakukan halini.”Maka Baginda bertitah, Hai Tumenggung, katakana saja, kita akanmembalasanya.”Maka Tumenggung menjawab, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat,untuk datang saja hamba takut, karena yang melakukan hal itu, tuan sangatmenyukainya. Baiklah kalau tuan percaya pada perkataan saya, karena jika tidak,alangkah buruknya nama baik hamba, seolah-olah menjelek-jelekkan orang itu.Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu,maka Baginda bertitah, “Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah kah?”Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi yang berani melakukannya selainHang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba memberitahukan hal ini pada hamba,hamba sendiri juga tidak percaya, lalu hamba melihat Sang Tuah sedang berbicaradengan seorang perempuan di istana tuan ini. Perempuan tersebut bernama DangSetia. Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hambadengan dikawal datang untuk mengawasi mereka.”Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya berwarnamerah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu,“Pergilah, singkirkanlah si durhaka itu!”Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar lagi di dalam negri itu, tetapi si Tuah tidak mati, karena si Tuah itu perwira besar, apalagi di menjadi wali Allah.Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada di puncak dulu Sungai Perak, di sana iaduduk menjadi raja segala Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu
 dengan seseorang, lalu ditanyainya orang itu dan ia berkata, “Tidakkah tuan inginmempunyai istri?”Lalu jawabnya, “Saya tidak ingin mempunyai istri lagi.”Demikianlah cerita Hikayat Hang Tuah.
 
 

Kesederhanaan Dalam Kemakmuran

Kesederhanaan Dalam Kemakmuran 

KESEDERHANAAN DALAM KEMAKMURAN          
Pada masa Rasulullah memimpin masyarakat Madinah, selaku orang besar ia justru paling melarat, walaupun warga Madinah hidup berkecukupan.
Pada suatu hari, ketika Rasulullah mengimami Shalat Isya berjamaah, para sahabat yang jadi makmum dibuat cemas oleh keadaan nabi yang agaknya sedang sakit payah. Buktinya, setiap kali ia menggerakkan tubuh untuk rukuk, sujud dan sebagainya, selalu terdengar suara keletak-keletik, seakan-akan tulang-tulang Nabi longgar semuanya.
Maka, sesudah salam, Umar bin Khatab bertanya,”Ya, Rasullullah, apakah engkau sakit?”.
“Tidak, Umar, aku sehat,” jawab Nabi.
“Tapi mengapa tiap kali engkau menggerakkan badan dalam shalat, kami mendengar bunti tulang-tulangmu yang berkeretakan?”.
Mula-mula, Nabi tidak ingin membongkar rahasian. Namun, karena para sahabat tampaknya sangat was-was memperhatikan keadaannya, Nabi terpaksa membuka pakaiannya. Tampak oleh para sahabat, Nabi mengikat perutnya yang kempis dengan selembar kain yang didalamnya diiisi batu-batu kerikil untuk mengganjal perut untuk menahan rasa lapar. Batu-batu kerikil itulah yang berbunyi keletak-keletik sepanjang Nabi memimpin shalat berjamaah.
Serta merta Umar pun memekik pedih, “Ya, Rasulullah, apakah sudah sehina itu anggapanmu kepada kami? Apakah engkau mengira seandainya engkau mengatakan lapar, kami tidak bersedia memberimu makan yang paling lezat? Bukankah kami semuanya hidup dalam kemakmuran?”.
Nabi tersenyum ramah seraya menyahut, “Tidak, Umar tidak. Aku tahu, kalian, para sahabatku, adalah orang-orang yang setia kepadaku. Apalagi sekedar makanan, harta ataupun nyawa akan kalian serahkan untukku sebagai rasa cintamu terhadapku, tetapi dimana akan kuletakkan mukaku dihadapan pengadilan Allah kelak di Hari Pembalasan, apabila aku selaku pemimpin justru membikin berat dan menjadi beban orang-orang yang aku pimpin?”.
Para sahabat pun sadar akan peringatan yang terkandung dalam ucapan Nabi tersebut, sesuai dengan tindakannya yang senantiasa lebih mementingkan kesejahteraan umat daripada dirinya sendiri.
Seorang tabib yang dikirim oleh penguasa Mesir, Muqauqis, sebagai tanda persahabatan, selama dua tahun di Madinah sama sekali menganggur. Menandakan betapa kesehatan penduduk Madinah betul-betul berada pada tingkatan yang tinggi. Sampai tabib itu bosan dan bertanya kepada Nabi, “Apakah masyarakat Madinah takut kepada tabib?”
Nabi menjawab, “Tidak. Terhadap musuh saja tidak takut, apalagi kepada tabib”.
“Tapi mengapa selama dua tahun tinggal di Madinah, tidak ada seorang pun yang pernah berobat kepada saya?”
“Karena penduduk Madinah tidak ada yang sakit,” jawab Nabi.
Tabib itu kurang percaya, “Masak tidak ada seorang pun yang mengidap penyakit?”.
“Silakan periksa ke segenap penjuru Madinah untuk membuktikan ucapanku,”ujar Nabi.
Maka tabib Mesir itu pun melakukan perjalanan kelililng Madinah guna mencari tahu apakah benar ucapan Nabi tersebut. Ternyata memang di seluruh Madinah ia tidak menjumpai orang yang sakit-sakitan.
Akhirnya, ia berubah menjadi kagum dan bertanya kepada Nabi, “Bagaimana resepnya sampai orang-orang Madinah sehat-sehat semuanya?”
Rasulullah menjawab, “Kami adalah suatu kaum yang tidak akan makan kalau belum lapar. Jika kami makan, tidaklah sampai terlalu kenyang. Itulah resep untuk hidup sehat, yakni makan yang halal dan baik, dan makanlah untuk takwa, tidak sekedar memuaskan hawa nafsu”.
***

Abu Hurairah r.a. Akrab dengan Kelaparan

Abu Hurairah r.a.
Akrab dengan Kelaparan
Tokoh kita ini biasa berpuasa sunah tiga hari setiap awal bulan Qamariah (bulan Arab dalam penanggalan Hijri), mengisi malam harinya dengan membaca Al-Quran dan salat tahajud. Akrab dengan kemiskinan, dia sering mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar. Dalam sejarah ia dikenal paling banyak meriwayatkan hadis. Dialah Bapak Kucing Kecil (Abu Hurairah), begitu orang mengenalnya.
“Aku sudah dengar pergunjingan kalian. Kata kalian, Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadis Nabi. Padahal, para sahabat muhajirin dan anshar sendiri tak ada yang meriwayatkan hadis Nabi sebanyak yang dituturkan Abu Hurairah. Ketahuilah, saudara-saudaraku dari kaum muhajirin disibukkan dengan perniagaan mereka di pasar. Sementara saudara-saudaraku dari anshar disibukkan dengan kegiatan pertanian mereka. Dan aku seorang papa, termasuk golongan kaum miskin shuffah (yang tinggal di pondokan masjid). Aku tinggal dekat Nabi untuk mengisi perutku. Aku hadir (di samping Nabi) ketika mereka tidak ada, dan aku selalu mengingat-ingat ketika mereka melupakan.”
Abu Hurairah adalah sahabat yang sangat dekat dengan Nabi. Ia dikenal sebagai salah seorang ahli shuffah, yaitu orang-orang papa yang tinggal di pondokan masjid (pondokan ini juga diperuntukkan buat para musafir yang kemalaman). Begitu dekatnya dengan Nabi, sehingga beliau selalu memanggil Abu Hurairah untuk mengumpulkan ahli shuffah, jika ada makanan yang hendak dibagikan.
Karena kedekatannya itu, Nabi pernah mempercayainya menjaga gudang penyimpan hasil zakat. Suatu malam seseorang mengendap-endap hendak mencuri, tertangkap basah oleh Abu Hurairah. Orang itu sudah hendak dibawa ke Rasulullah. “Ampun tuan, kasihani saya,” pencuri itu memelas. “Saya mencuri ini untuk menghidupi keluarga saya yang kelaparan.”
Abu Hurairah tersentuh hatinya, maka dilepasnya pencuri itu. “Baik, tapi jangan kamu ulangi perbuatanmu ini.”
Esoknya hal ini dilaporkan kepada Nabi. Nabi tersenyum. “Lihat saja, nanti malam pasti ia kembali.”
Benar pula, malam harinya pencuri itu datang lagi. “Nah, sekarang kamu tidak akan kulepas lagi.” Sekali lagi, orang itu memelas, hingga Abu Hurairah tersentuh hatinya. Tapi, ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, kembali beliau mengatakan hal yang sama. “Lihat saja, orang itu akan kembali nanti malam.”
Ternyata pencuri sialan itu benar-benar kembali. “Apa pun yang kamu katakan, jangan harap kamu bisa bebas. Sudah dua kali kulepas, kamu tak kapok-kapok juga.”
Eh, pencuri itu malah menggurui. “Abu Hurairah, sebelum kamu tidur, bacalah ayat kursi agar setan tidak menyatroni kamu.”
Merasa mendapat pelajaran berharga, Abu Hurairah terharu. Ah, ternyata orang baik-baik, pikirnya.
“Apa yang dikatakan orang itu memang benar,” sabda Nabi ketika dilapori pagi harinya. “Tapi orang itu bukan orang baik-baik. Dia adalah setan. Dia katakan itu supaya dia kamu bebaskan.”
Mengikatkan Batu ke Perut.
Abu Hurairah adalah salah seorang tokoh kaum fakir miskin. Abu Hurairah sering lapar ketimbang kenyang. Ia sosok yang teguh berpegang pada sunah Nabi. Ia kerap menasihati orang agar jangan larut dengan kehidupan dunia dan hawa nafsu. Ia tak membedakan antara kaum kaya dan kaum miskin, petinggi negeri atau rakyat jelata dalam menyampaikan kebenaran. Ia pun selalu bersyukur kepada Allah dalam keadaan susah dan senang.
Orang yang nama lengkapnya Abdur Rahman (versi lain: Abdu Syams) ibn Shakhr Ad-Dausi ini adalah sosok humoris. Banyak anekdot yang berasal darinya. Ia pun suka menghibur anak-anak kecil. Ia pecinta kucing kecil. Ke mana-mana dibawanya binatang ini, sehingga julukan Abu Hurairah (bapak kucing kecil) pun melekat padanya.
Dibanding Nabi, umurnya lebih muda sekitar 30 tahun. Dia lahir di Daus, sebuah desa miskin di padang pasir Yaman. Hidup di tengah kabilah Azad, ia sudah yatim sejak kecil, yang membantu ibunya menjadi penggembala kambing.
Dia masuk Islam tak lama setelah pindah ke Madinah pada tahun ketujuh hijriah, bersamaan dengan rencana keberangkatan Nabi ke Perang Khaibar. Tapi ibundanya belum mau masuk Islam. Malah sang ibu pernah menghina Nabi. Ini membuatnya sedih. Untuk itu, ia memohon Nabi berdoa agar ibunya masuk Islam. Kemudian Abu Hurairah kembali menemui ibunya, mengajaknya masuk Islam. Ternyata sang ibu telah berubah, bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat.
Buruh Kasar.
Akan halnya kepindahannya ke Madinah adalah untuk mengadu nasib. Di sana ia bekerja serabutan, menjadi buruh kasar bagi siapa pun yang membutuhkan tenaganya. Acap kali dia harus mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar yang amat sangat.
Menurut shahibul hikayat, ia pernah kedapatan berbaring di dekat mimbar masjid. Gara-gara perbuatan aneh itu, orang mengiranya agak kurang waras. Mendengar kasak-kusuk di kalangan sahabat ini, Nabi segera menemui Abu Hurairah. Abu Hurairah bilang, ia tidak gila, hanya ia lapar. Nabi pun segera memberinya makanan.
Suatu kali, dengan masih mengikatkan batu ke perutnya, dia duduk di pinggir jalan, tempat orang biasanya berlalu lalang. Dilihatnya Abu Bakr melintas. Lalu dia minta dibacakan satu ayat Al-Quran. “Aku bertanya begitu supaya dia mengajakku ikut, memberiku pekerjaan,” tutur Abu Hurairah. Tapi Abu Bakr cuma membacakan ayat, lantas berlalu.
Dilihatnya Umar ibn Khattab. “Tolong ajari aku ayat Al-Quran,” kata Abu Hurairah. Kembali ia harus menelan ludah kekecewaan karena Umar berbuat hal yang sama.
Tak lama kemudian Nabi lewat. Nabi tersenyum. “Beliau tahu apa isi hati saya. Beliau bisa membaca raut muka saya secara tepat,” tutur Abu Hurairah.
“Ya Aba Hurairah!” panggil Nabi.
“Labbaik, ya Rasulullah!”
“Ikutlah aku!”
Beliau mengajak Abu Hurairah ke rumahnya. Di dalam rumah didapati sebaskom susu. “Dari mana susu ini?” tanya Rasulullah. Beliau diberi tahu bahwa seseorang telah memberikan susu itu.
“Ya Aba Hurairah!”
“Labbaik, Ya Rasulullah!”
“Tolong panggilkan ahli shuffah,” kata Nabi. Susu tadi lalu dibagikan kepada ahli shuffah, termasuk Abu Hurairah. Sejak itulah, Abu Hurairah mengabdi kepada Rasulullah, bergabung dengan ahli shuffah di pondokan masjid.
Sepulang dari Perang Khaibar, Nabi melakukan perluasan terhadap Masjid Nabawi, yaitu ke arah barat dengan menambah tiga pilar lagi. Abu Hurairah terlibat pula dalam renovasi ini. Ketika dilihatnya Nabi turut mengangkat batu, ia meminta agar beliau menyerahkan batu itu kepadanya. Nabi menolak seraya bersabda, “Tiada kehidupan sebenarnya, melainkan kehidupan akhirat.”
Abu Hurairah sangat mencintai Nabi.
Sampai-sampai dia memilih dipukul Nabi karena melakukan kekeliruan ketimbang mendapatkan makanan yang enak. “Karena Nabi menjanjikan akan memberi syafaat kepada orang yang pernah merasa disakitinya secara sengaja atau tidak,” katanya.
Begitu cintanya kepada Rasulullah sehingga siapa pun yang dicintai Nabi, ia ikut mencintainya. Misalnya, ia suka mencium Hasan dan Husain, karena melihat Rasulullah mencium kedua cucunya itu.
Ada cerita menarik menyangkut kehidupan Abu Hurairah dan masyarakat Islam zaman itu. Meski Abu Hurairah seorang papa, boleh dibilang tuna wisma, salah seorang majikannya yang lumayan kaya menikahkan putrinya, Bisrah binti Gazwan, dengan lelaki itu. Ini menunjukkan betapa Islam telah mengubah persepsi orang dari membedakan kelas kepada persamaan. Abu Hurairah dipandang mulia karena kealiman dan kesalihannya. Perilaku islami telah memuliakannya, lebih dari kemuliaan pada masa jahiliah yang memandang kebangsawanan dan kekayaan sebagai ukuran kemuliaan.
Sejak menikah, Abu Hurairah membagi malamnya atas tiga bagian: untuk membaca Al-Quran, untuk tidur dan keluarga, dan untuk mengulang-ulang hadis. Ia dan keluarganya meskipun kemudian menjadi orang berada tetap hidup sederhana. Ia suka bersedekah, menjamu tamu, bahkan menyedekahkan rumahnya di Madinah untuk pembantu-pembantunya.
Tugas penting pernah diembannya dari Rasulullah. Yaitu ketika ia bersama Al-Ala ibn Abdillah Al-Hadrami diutus berdakwah ke Bahrain. Belakangan, ia juga bersama Quddamah diutus menarik jizyah (pajak) ke Bahrain, sambil membawa surat ke Amir Al-Munzir ibn Sawa At-Tamimi.
Menolak Jabatan.
Mungkin karena itu, ketika Umar menjadi amirul mukminin, Abu Hurairah diangkat menjadi gubernur Bahrain. Tapi pada 23 Hijri Umar memecatnya gara-gara sang gubernur kedapatan menyimpan banyak uang (menurut satu versi, sampai 10.000 dinar). Dalam proses pengusutan, ia mengemukakan upaya pembuktian terbalik, bahwa harta itu diperolehnya dari beternak kuda dan pemberian orang. Khalifah menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu ia diminta menduduki jabatan gubernur lagi, tapi ia menolak.
Penolakan itu diiringi lima alasan. “Aku takut berkata tanpa pengetahuan; aku takut memutuskan perkara bertentangan dengan hukum (agama); aku ogah dicambuk; aku tak mau harta benda hasil jerih payahku disita; dan aku takut nama baikku tercemar,” kilahnya. Ia memilih tinggal di Madinah, menjadi warga biasa yang memperlihatkan kesetiaan kepada Umar, dan para pemimpin sesudahnya.
Tatkala kediaman Amirul Mukminin Ustman ibn Affan dikepung pemberontak, dalam peristiwa yang dikenal sebagai al-fitnatul kubra (bencana besar), Abu Hurairah bersama 700 orang Muhajirin dan Anshar tampil mengawal rumah tersebut. Meski dalam posisi siap tempur, Khalifah melarang pengikut setianya itu memerangi kaum pemberontak.
Pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah ditawari menjadi gubernur di Madinah. Ia menolak. Ketika terjadi pertemuan antara Khalifah Ali dan lawannya, Muawiyah ibn Abi Sufyan, ia bersikap netral dan menghindari fitnah. Sampai kemudian Muawiyah berkuasa, Abu Hurairah bersedia menjadi gubernur di Madinah. Tapi versi lain mengatakan, Marwan ibn Hakamlah yang menunjuk Abu Hurairah sebagai pembantunya di kantor gebernuran Madinah. Di Kota Penuh Cahaya (Al-Madinatul Munawwarah) ini pula ia mengembuskan nafas terakhir pada 57 atau 58 H. (676-678 M.) dalam usia 78 tahun. Meninggalkan warisan yang sangat berharga, yakni hadis-hadis Nabi, bak butiran-butiran ratna mutu manikam, yang jumlahnya 5.374 hadis.
***
Dari Sahabat

Akal dan Nafsu

Dalam sebuah kitab karangan ‘Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Alkhaubawiyi, seorang ulama yang hidup dalam abad ke XIII Hijrah, menerangkan bahwa sesungguhnya Allah S.W.T telah menciptakan akal, maka Allah S.W.T telah berfirman yang bermaksud : “Wahai akal menghadaplah engkau.” Maka akal pun menghadap Allah S.W.T., kemudian Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : “Wahai akal berbaliklah engkau!”, lalu akal pun berbalik.
Kemudian Allah S.W.T. berfirman lagi yang bermaksud : “Wahai akal! Siapakah aku?”. Lalu akal pun berkata, “Engkau adalah Tuhan yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu yang daif dan lemah.”
Lalu Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : “Wahai akal tidak Ku-ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada engkau.”
Setelah itu Allah S.W.T menciptakan nafsu, dan berfirman kepadanya yang bermaksud : “Wahai nafsu, menghadaplah kamu!”. Nafsu tidak menjawab sebaliknya mendiamkan diri. Kemudian Allah S.W.T berfirman lagi yang bermaksud : “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”. Lalu nafsu berkata, “Aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau.”
Setelah itu Allah S.W.T menyiksanya di neraka jahim selama 100 tahun, dan kemudian mengeluarkannya. Kemudian Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”. Lalu nafsu berkata, “Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau.”
Lalu Allah S.W.T menyiksa nafsu itu dalam neraka Juu’ selama 100 tahun. Setelah dikeluarkan maka Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”. Akhirnya nafsu mengakui dengan berkata, ” Aku adalah hamba-Mu dan Kamu adalah Tuhanku.”
Dalam kitab tersebut juga diterangkan bahwa dengan sebab itulah maka Allah S.W.T mewajibkan puasa.
Dalam kisah ini dapatlah kita mengetahui bahwa nafsu itu adalah sangat jahat oleh karena itu hendaklah kita mengendalikan nafsu itu, jangan biarkan nafsu itu mengendalikan kita, sebab kalau dia yang mengendalikan kita maka kita akan menjadi musnah.
INNAN NAFSA LAAMMAROTUM BISSU’
Sesungguhnya nafsu itu membawa kita kepada kejelekan

Like Button

Comments

Video Gallery Saya

Kata-Kata Motivasi

http://www.yahoomessenger.com/t.fachruza
http://www.facebook.com/Ade Ground
http://www.twitter.com/TFachruza
http://www.cbox.ws/adeandika